Ketika Pendidikan
Melahirkan Kaum Intelektul yang Tidak Bermoral
Di
era globalisasi ini, persoalan budaya dan moral bangsa telah menjadi
sorotan tajam masyarakat. Moralitas bangsa Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam telah merosot jauh dari nilai-nilai
keagamaannya, karena tercermin dengan semakin kronisnya penyakit yang bernama korupsi.
Terpuruknya bangsa ini, bukan hanya disebabkan oleh krisis ekonomi,
melainkan juga karena krisis akhlak. Krisis akhlak telah menjalar dan
menjangkiti bangsa ini dan hampir semua elemen bangsa juga merasakannya.
Oleh karena itu, perekonomian bangsa Indonesia semakin ambruk, kasus
korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), dan perbuatan-perbuatan yang merugikan
bangsa merajalela. Perkelahian, tawuran, perusakan, perkosaan,
minum-minuman keras, mengonsumsi narkoba, dan bahkan pembunuhan.
Dari masalah di atas timbul berbagai pertanyaan, “Mengapa
seolah-olah bangsa kita ini tidak pernah sadar? justru bangsa ini makin
dijangkiti krisis akhlak yang semakin kuat? mengapa demikian?” Padahal
semua orang tahu bahwa kemajuan suatu bangsa tergantung pada kualitas
pendidikannya, dan sebaliknya kehancuran suatu bangsa disebabkan
buruknya mutu pendidikan bangsa tersebut. Sehingga masih menyisakan tanda tanya besar, “Ada apakah dengan pendidikan di Indonesia ini?”
tentu jawabannya tidak lain dikarenakan pendidikan di Indonesia masih
diwarnai dengan berbagai masalah. Globalisasi telah menjadikan
pendidikan sebagai ajang bisnis. Komersialisasi, privatisasi,
neo-liberalisasi, dan komodifikasi telah menyeret pendidikan sebagai
alat modal para kaum kapitalis. Ambil saja salah satu problematikanya
adalah telah maraknya “komersialisasi pendidikan” di
Indonesia, yang mana hanya kelompok yang berkantong tebal saja yang bisa
menikmati dunia pendidikan. Seolah mereka menjelma sebagai penjajah
yang menjadikan pendidikan dapat dinikmati bagi kalangan berduit saja.
Sementara, masyarakat kelas menengah ke bawah yang hidup di bawah garis
kemiskinan akan terjauhkan dengan sendirinya untuk mengenyam pendidikan.
Krisis Akhlak Tanggung Jawab Pendidikan
Keadaan
seperti di atas, terutama krisis akhlak terjadi karena kurang
berhasilnya dunia pendidikan dalam melahirkan generasi muda bangsanya,
sehingga banyak komentar terhadap pelaksanaan pendidikan yang dianggap
belum mampu menyiapkan generasi muda bangsa menjadi warga negara yang
lebih baik. Dalam hal ini, peran pendidikan jelas merupakan hal yang
sangat signifikan karena pendidikan memberikan pencerahan dan perluasan
pengetahuan sehingga bangsa ini akan merasakan kenyamanan dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun dunia
pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat
pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program terobosan sepertinya
belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yaitu
bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertakwa,
profesional dan berkarakter. Secara tegas, pendidikan merupakan tiang
untuk mengentaskan kemiskinan pengetahuan dan memecahkan segala
permasalahan bangsa yang selama ini terjadi, sehingga bangsa kita
mampu menumbuhkan mental bangsa yang beradab serta berbudaya dan bukan
sebaliknya, malah melahirkan kaum intelektual yang tidak bermoral. Maka
jelas, negara akan semakin terpuruk jika tidak mampu mengembalikan
disorientasi pendidikan ini.
Dr. Anis Malik Thoha pernah menyatakan bahwa “Pendidikan adalah karakter, bukan sekedar apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui” (Pikiran Rakyat, 2010).
Karakter itu adalah watak, tabiat atau kepribadian seseorang yang
digunakan sebagai landasan untuk berpikir dan bertindak. Istilah “moral”
juga sering disinonimkan dengan kata-kata : akhlak, budi pekerti,
susila (KBBI v1.1, 2010). Sehingga dapat disimpulkan bahwa istilah moral
sama dengan akhlak. Moral merupakan dasar dan menjadi unsur yang
penting bagi pembentukan karakter.
Dengan
demikian, tujuan pendidikan bukan hanya mencetak masyarakat yang cerdas
secara intelektual, namun juga mampu merasakan segala keluh kesah yang
berada di sekitarnya sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan yang
berada di tengah masyarakat, sekaligus dapat memberikan solusi konkret
terhadap persoalan masyarakat yang sedang terjadi, dan bukan malah
mencetak “Kaum Intelektual yang Tidak Bermoral”.
Politik Pendidikan sebagai Arah Kemajuan Bangsa
Jika kita perhatikan, saat ini masih banyak kebijakan pendidikan yang tidak mencerahkan dan justru malah merugikan rakyat. Ini lebih dikarenakan politik pendidikan yang dijalankan oleh pemerintahan cenderung lebih memihak kepada golongan tertentu,
sehingga ia pun tidak bisa meningkatkan kualitas pendidikan bangsa ini.
Padahal kita tahu, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan (UUD pasal 31 ayat 1). Maka dari itu, pemerintah perlu
merumuskan kembali kebijakan yang komprehensif dan panjang guna
memberikan akses pendidikan secara adil kepada masyarakat (Pro Rakyat),
khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Dari pernyataan di atas, timbul suatu pertanyaan, “Apa yang dimaksud dengan politik pendidikan itu?”
Menurut Ki Supriyoko (Yamin, 2009:20), ada lima definisi mengenai
politik pendidikan, dan salah satu definisinya bahwa politik pendidikan
berbicara mengenai sejauh mana pencapaian pendidikan sebagai pembentuk
manusia Indonesia yang berkualitas, penyangga ekonomi nasional,
pembentuk bangsa yang berkarakter, dan sebagainya. Politik pendidikan
adalah langkah strategis untuk mencapai tujuan perbaikan pendidikan
seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu, bangsa ini harus lebih
memperhatikan dan memperjelas kembali terkait politik pendidikan
Indonesia yang mempunyai peran untuk perubahan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Singkatnya, politik pendidikan yang
mencerahkan akan dapat dijalankan jika pembentukan akhlak atau moral
mulai dari kalangan birokrat pemerintah sampai terbawah betul-betul
dilakukan dengan tegas dan jelas.
Penyelamatan Moral Bangsa Lewat Pendidikan
Menurut
Soedarsono et.al. (2003:10) di dalam bukunya yang berjudul “Membangun
Kembali Karakter Bangsa”, disana secara tidak langsung menjelaskan bahwa
masalah itu terbagi 2; yaitu masalah penting dan masalah genting.
Masalah genting diantaranya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),
narkoba dan sebagainya. Sedangkan masalah penting diantaranya watak,
moral, akhlak, budi pekerti, jati diri dan sebagainya. Pemerintah harus
menyelesaikan dulu masalah penting daripada masalah genting, sehingga
harus jeli dalam memilih dan memilah mana masalah genting dan mana
masalah penting.
Dari
pernyataan di atas, jelas bahwa masalah akhlak atau moral merupakan hal
yang perlu diselesaikan terlebih dahulu daripada masalah korupsi,
kolusi, dan sebagainya. Jika akhlak atau moral belum tertanam dalam
kepribadian seseorang, maka peluang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang merugikan akan semakin terbuka, baik merugikan dirinya,
lingkungannya, bangsanya, dan negaranya.
Bangsa
Indonesia, di dunia manapun, dikenal dengan konsep Pancasila-nya yang
disebut santun, ramah, dan lain seterusnya (Yamin, 2009:25). Namun yang
menjadi persoalan adalah konsep tersebut tinggal sebuah konsep semata,
hanya sebuah hiasan yang belum menjadi sebuah kenyataan, dan konsep itu
hanya dikumpulkan dan ditumpuk dalam tulisan-tulian kertas saja.
Pemerintah harus selalu tegas dalam menjalankan konsep tersebut, jangan
setengah-setengah, karena moralitas bangsa kita harus disesuaikan dengan
nilai Pancasila. Pancasila yang hakikatnya merupakan manifestasi moral
bangsa yang telah digali dari masyarakat tradisional dan merupakan
pandangan hidup yang telah berakar dalam kepribadian bangsa. Sehingga
moral bangsa adalah Pancasila, dan untuk pembentukan moral itu sendiri
perlu adanya kesadaran pribadi, karena untuk pembentukan tersebut
baiknya dilakukan mulai dari diri kita sendiri, kemudian ke dalam
keluarga, lingkungan, masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan dalam
pembentukan moral bangsa ini bisa kita lakukan, hanya kita perlu waktu
saja untuk melakukan hal tersebut.
Perlu
diingat juga, tidak ada kata terlambat dalam membentuk karakter diri,
sebab itu merupakan suatu proses yang tiada henti. Namun dalam melakukan
hal tersebut perlu adanya pendidikan agama Islam sebagai dasar
pembentukan moral. Pendidikan agama mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan moral, sehingga sangat penting diajarkan dan ditanamkan
kepada generasi muda khususnya kaum pelajar. Karena dalam penerapannya,
pendidikan agama Islam diberikan bukan hanya menjadikan manusia yang
pintar dan trampil, akan tetapi jauh daripada itu yaitu untuk menjadikan
manusia memiliki karakter dan akhlakul karimah.
Tidak
terlepas dari hal itu, guru juga mempunyai peran yang sangat penting
dalam proses pendidikan. Guru yang berperan sebagai pembimbing belajar
siswa dan terkenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tersebut harus
berusaha menciptakan lingkungan sekolah menjadi “hidup” dalam arti tidak
monoton, yaitu dengan cara menjadikan siswa menjadi aktif, kreatif, dan
kritis, sehingga dengan keadaan tersebut akan terjadi proses pendidikan
yang menyeimbangkan antara nilai kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Maka
dengan demikian, guru harus menyisipkan nilai-nilai pendidikan agama
dalam setiap pengajarannya, dan dalam setiap kelas atau jurusan wajib
adanya mata pelajaran pendidikan agama Islam sebagai wadah untuk
perbaikan moral sekaligus untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam
memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang
menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Namun perlu diingat, dalam pengajarannya tidak hanya bersifat kognitif
atau menghafal saja, tetapi juga harus menyentuh nilai-nilai yang
diamalkan ke dalam berbagai aspek kehidupan siswa. Sehingga dengan yakin
pendidikan Indonesia akan banyak melahirkan “Kaum Intelektual yang
Bermoral”
Eko Mugarianto
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palangka Raya
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Prodi Ilmu Administrasi Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar